Seni menikmati ujian (2)



Dalam hidup seringkali kita merasakan sedih ataupun senang. Sedih karena diberi cobaan berupa kesehatan maupun kesulitan, dan senang ketika kita diberi sebuah kebaikan maupun kenikmatan. Dan dengan cobaan  tersebut kita akan dimintai pertanggungjawaban. Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ المَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada kami.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 35)
Memang dunia ini adalah medan ujian. Kehidupan ini adalah medan perjuangan. Allah berfirman, “Maha Suci Allah yang Menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang Menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (Qs. Al-Mulk: 1-2)
Ujian adalah Sunnatullah
Ujian merupakan sunnatullah bahwasannya Allah Ta’ala telah menentukan ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya. Mereka akan diuji dengan berbagai macam ujian, baik dengan sesuatu yang disenangi oleh jiwa berupa kemudahan dalam hidup atau kelapangan rizki, atau diuji dengan perkara yang tidak disukai.  Ini adalah sebuah sunnatullah yang tidak akan berubah dan akan berlaku pada seluruh hamba-Nya.
Segala nikmat yang Allah berikan adalah ujian, apakah  ia akan menjadi hamba-Nya yang bersyukur ataukah menjadi kufur. Sungguh benar apa yang diucapkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tatkala mendapatkan nikmat, “Ini termasuk karunia dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (nikmat-Nya). Dan brang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (Qs. An-Naml: 40).
Ujian Berdasarkan Tingkat Keimanan
Akhwati fillah...
Ketahuilah, bahwasannya besarkecilnya ujian berdasarkan tingkat keimanan seseorang. Semakin tinggi iman seseorang maka semakin tinggi kadar ujian yang akan ia hadapi. Nabi Shalallahu alaihi wassallam bersabda,
“Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian yang paling sholih dan seterusnya. Seseorang diuji berdasarkan agamanya, jika agamanya kuat maka semakin keras ujiannya, dan jika agamanya lemah maka ia diuji berdasarkan agamanya. Dan ujian senantiasa menipa seorang hamba hingga meninggalkan sang hamba berjalan diatas bumi tanpa ada sebuah dosapun.” (hadits Shohih no.143)
Renungi dan Nikmati
Marilah berfikir sejenak,
Pertama, yakinlah dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Dan bukankan  kebahagiaan selalu Allah simpan setelah adanya kesulitan? Allah berfirman,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. al- Insyiroh: 6)
Maka dengan adanya keyakinan setelah kesulitan itu pasti ada kemudahan; kita akan menerima rasa sulit itu dengan rasa senang, dan kita akan merasakan rasa sakit itu dengan rasa syukur. Sehingga dikatakan;
“Sangat menakjubkan urusan orang-orang mukmin itu. Mereka menerima semua persoalan hidup sebagai kebaikan baginya. Apabila kegembiraan yang diterimanya ia bersyukur dan itu adalah kebaikan baginya. Dan apabila kepedihan yang diterimanya maka ia bersabar dan itu merupakan kebaikan baginya” (HR Muslim).
Kedua, sabarlah dengan ujian yang sedang menimpa. Sebab Allah tidak membebani seseorang melaikan sesuai dengan kesanggupannya. Allah berfirman, “.....dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 177)
Ibnul Qayyim rahimahullah, mengutarakan bahwa ayat seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Sehingga keberadaan sabar dalam menghadapi ujian dan coban dari Allah benar-benar menjadi barometer keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Madarijussalikin 2/152
Ketiga, bukankah ujian yang dihadapi dengan kesabaran akan menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat? Sebagaimana firman Allah, “Kecuali orang-orang yang  sabar (terhadap ujian), dan mengerjakan amal-amal sholeh; mereka itu memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Hud: 11)
Namun realitanya, seringkali seseorang mengukur kebahagian secara dhahir saja. Tidakkah seharusnya seseorang berfikir lebih jernih dan berhusnudzon pada Allah Ta’ala yang Maha segala maha. Bisa jadi dibalik cobaan tersebut Allah sedang merencanakan sesuatu yang lebih baik baginya. Atau  bisa jadi dengan adanya cobaan tersebut Allah ingin menghapuskan dosa-dosanya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan Allah telah menghapus dosanya. Meskipun musibah itu adalah duri yang menusuk dirinya.”
Dan bisa jadi dengan ujian tersebut Allah menghendakinya  untuk meraih sebuah tempat yang tinggi di syurga, yang mana tanpa adanya ujian tersebut amalan sholihnya belum  mencukupi untuk sampai ke syurganya. Allah berfirman, “Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam syurga) atas kesabaran mereka, dan disana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam.” (Qs. Al-Furqan: 75)
Keempat, ingatlah dengan adanya ujian terkadang kita baru sadar bahwasannya kita sangatlah lemah dan selalu butuh pertolongan-Nya, terkadang kita baru  merasa nikmatnya ibadah; ketika khusyuk dalam shalat dan doa. Dan baru menyadari arti berharap dalam ikhtiyar dan tawakkal pada Allah, ketika ujian datang dan musibah menerpa.
Kelima, berprasangka baiklah kepada Allah dan yakinlah bahwa dibalik ujian dan musibah yang menimpamu ada kebaikan dan hikmah. Allah berfirman, “Dan boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia amat baik bagi kalian” (Qs. Al-Baqarah: 216).
Dan juga firman-Nya, “Maka mungkin kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan dari padanya kebaikan yang banyak” (Qs. An-Nisaa: 19).
Pada titiknya, banyaknya ujian yang menimpa justru memperkuat rasa tawakkal dan kerelaan seorang hamba kepada keputusan Allah. Disitulah tampak kadar kekuatan iman seseorang bukan hanya terletak pada rakaat-rakaat pendek saja. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Pada saat manusia sama-sama sehat, mereka sejajar dalam iman, namun tatkala bencana menimpa, tersingkaplah siapa yang benar-benar kokoh imannya.” Wallahu a’lam bishowwab!