Prolog



“Akhyar..!” ini sudah panggilan ketiga Zabil sahabatnya. Namun tampaknya Akhyar masih asik dalam lamunan sehingga ia tidak mendengar teriakan darinya.

“Oi..! Pagi-pagi sudah melamun saja!” Menepuk pundak sahabatnya. Lagi-lagi Akhyar tak menyadari kedatangan Zabil di belakangnya.

    Sentuhan tangan dan sapanya membuyarkan lamunanku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku sering menikmati hobi baruku; yap betul sekali! hobi baruku adalah melamun. Sambil menikmati kesunyian hati, biasanya aku menyembunyikan diriku di balik jendela. Tapi rupanya hobi baruku tercium juga olehnya.

“Zabil! Kamu merusak moodku.” ucapku kesal.

“Melamun kok pake mood segala. Kalo mood ente lagi baik, engga mungkin bakal melamun.” Ucapnya seraya mengacak-acak rambutku.

“Engga baik lho terus-terusan melamun, takut diganggu setan!” Imbuhnya seraya menarik kursi dan mengambil posisi duduk disebelahku

Iya.. iyaa.. ck.. aku berdecak malas

“Kenapa sih, ana perhatikan akhir-akhir ini ente sering melamun?”

“Engga sih, lagi sedikit galau aja.”

“Sedih sih boleh, asal jangan berlarut-larut; takutnya nanti menjadi celah bagi setan untuk terus menghasut ente. Dan ditakutkan ente semakin jauh dari Allah.” “Hayuk ah.. Semangat.. Semangaattt..!! Takbir..!!” ucapnya sembari menarik tanganku mengudara.

“Semangatt..” ucapku tak bergairah.

“Nah, gitu dong..! jelek tau muka ente di tekuk muluk.” Tawanya gemas membekap leherku dari samping dengan tangan berototnya.

“Iya bang..”

“Yah kalau ente engga keberatan,  boleh kok ente berbagi cerita sama ana. Insyaa Allah ana siap membantu, dan mungkin setelah itu ente bisa merasa lebih plong. Tapi semisal ente takut nih yaa kalo ana engga bisa jaga rahasia, curhatlah sama Allah. Karena Ialah sebaik-baik pendengar.”

    Memang, rupanya aku tidak salah pilih saat memutuskan untuk besahabat dengannya. Maa syaa Allah darinya aku mendapatkan banyak pelajaran. Bahkan untuk hal-hal kecil yang selalu ku anggap remeh dia pasti bisa melihat tiap sisi baiknya.

    Sejak kecil kami sudah berteman. Lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat bukan?. Ku akui selama aku mengenalnya aku tak pernah mendapatinya mendengar nasihat ataupun ceramah darinya. Yaa aku sering menyebutnya demikian. Bagaimana tidak, dia lebih cocok untuk menjadi khatib jum’at ketimbang teman yang dapat membawaku dalam gelak tawa.

    Sosoknya yang santun, cerdas, hangat lagi bersahabat selalu membuatku nyaman bercengkrama lama dengannnya. Setiap nasihat yang ku dengar darinya benar-benar dapat diterima, lebih bersahabat dan terkesan tidak menggurui. Hanya saja, terkadang saat imanku sedang melemah seringkali egoku mengambil kuasa. Jujur, hati kecilku tidak pernah merasa bosan dengannya, hanya saja ucapanku sering menghianati. Aku marah. Aku emosi, terhanyut dalam suasana buruk ku sehingga sikapku ternodai.

    “Sebenarnya aku lagi kangen sama Umma.” Ungakapku terkesan sok tegar. Seraya Memalingkan wajah dan menatap kedepan. Berharap ia tidak mendapati genagan dalam kelopak ku. Aku tidak mau ia melihatku sedang menangis. Akkh, mengapa aku menjadi lelaki yang cengeng sekali? Batinku mencemooh diri. 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar