Mengenal Darah Haid

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, yang senantiasa kami haturkan kepada-Nya dan kepada-Nya kami memohon ampunan, pertolongan serta perlindungan dari segala kejahatan jiwa kita dan keburukan amal yang kita lakukan. Barangsiapa yang di sesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat memberikannya petujuk. Dan barangsiapa yang Allah beri petunjuk dan hidayah-Nya, maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya.
            Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada satu-satunya pemimpin umat Islam, baginda Rasulullah dan keluarganya, para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia di jalan yang lurus hingga akhir zaman nanti.
            Dengan memanjatkan syukur kehadirat Allah Ta’ala. Alhamdulillah dengan izin Allah beserta taufik dan rahmat-Nya, disini saya akan menyampaikan beberapa hal yang berkenaan dengan darah haid.
Pengertian
Haid secara bahasa adalah sesuatu yang mengalir. Yang dimaksud disini adalah darah yang keluar dari pangkal rahim seorang wanita dalam keadaan sehat; tidak melahirkan atau sedang sakit, pada masa tertentu.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” [Al-Baqarah: 222].
Ciri-ciri Darah
Sebagaimana disepakati oleh seluruh ahli Fiqih, darah haid yang keluar pada hari-hari biasa setiap bulan biasanya berwarna kehitaman atau kemerahan atau kuning atau keruh seperti  tanah  atau air yang kotor. Memiliki bau yang menyengat atau bacin. [1]
Pembagian
Terkait dengan haid, wanita terbagi kedalam tiga jenis yaitu:
1.      Mubtada’ah: ialah wanita yang mengalami haid untuk pertama kalinya.
2.      Mu’tadah: ialah wanita yang terbiasa mengalami haid pada hari-hari tertentu dalam tiap bulannya.
3.      Mustahadzah: ialah wanita yang darahnya tak berhenti keluar, baik setelah haid atau diluar hari kebiasaan haid. [2]
Usia Ketika Mengalami Haid
Biasanya seorang wanita mubtada’ah mengalami haid pada usia sembilan tahun Qomariyah (Hijriyah) sampai pada masa menopause, sedangkan darah yang keluar pada usia kurang dari itu atau setelah menopause maka dikatakan istihadhah (darah rusak).
Menurut pendapat Hanafiyah seorang mengalami menopause pada usia 55 tahun. Sedangkan Malikiyah berpendapat pada usia 70 tahun. Syafi’iyah tidak ada batasan usia bagi wanita yang mengalami putus haid, tetapi menurut kebiasaan kebanyakan wanita; mengalami menopause pada usia 62 tahun, Hanabilah pada usia 52 tahun. Mereka berpegang pada perkataan ‘Aisyah, “Apabila perempuan mencapai umur 50 tahun, maka dia telah keluar dari batasan haid.” ‘Aisyah juga mengatakan “Dia tidak mengandung lagi setelah mencapai umur 50 tahun.” [3]
Masa Haid
Masa haid seorang wanita sesuai dengan kebiasaannya. Namun tidak adanya nash yang mengatakan itu. Maka dengan tidak adanya nash yang menyebutkan adanya batasan masa haid menjadikan perbedaan pendapat diantara para ulama, diantaranya:
Hanafiyah berpendapat masa haid paling sedikit adalah tiga hari tiga malam, pertengahannya lima hari, sedangkan masa paling lamanya sepuluh hari sepuluh malam. Kurang dan lebihnya dari hal tersebut termasuk darah istihadhah. Malikiyah membatasi paling sedikitnya adalah waktu barang sebentar atau sekejap, paling lamanya lima belas hari. Sedangkan Syafi’iyah dan Hanabilah keduanya berpendapat paling sedikit adalah sehari semalam. Namun kebanyakan dari wanita mengalami haid selama enam sampai tujuh hari,  selama-lamanya adalah lima belas hari. Maka selebihnya dari hal tersebut adalah istihadhah. [4]
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Fathimah binti Abu Hubaisy memberitahu kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya saya seorang perempuan yang beristihadlah, karena itu aku tidak suci, bolehkah aku meninggalkan shalat?”. Maka Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya yang demikian itu hanya gangguan urat, bukan haid. Oleh karena itu bila datang haid tinggalkanlah shalat, lalu apa bila waktu haid sudah habis, maka cucilah darah itu darimu, dan shalatlah”. [HR. Bukhari, Nasai dan Abu Dawud]
Masa Suci diantara Dua Haid
Jumhur fuqoha’ selain Hanabilah berpendapat batas minimalnya adalah limabelas hari, karena dalam satu bulan tidak terlepas dari haid dan suci.
Sedangkan menurut Hanabilah tigabelas hari. Hal ini berdasarkan riwayat Imam Ahmad dari Ali -radhiyallahu ‘anhu- bahwa seorang wanita yang telah dicerai suaminya datang menemui Ali dan mengaku bahwa ia mengalami haid satu bulan sebanyak tiga kali. Lalu, Ali berkata kepada Qadhi Syuraih, “Putuskan fatwa berkenaan dengan kasusnya.” Maka Qadhi Syuraih pun berkata, “Jika dia dapat mendatangkan saksi dari kalangan keluarganya yang dapat dipercayai dari segi agama dan amanahnya, maka hendaklah wanita tersebut membawa saksi. Tetapi jika tidak, maka dia pendusta.” Lalu Ali mengatakan kata qolun , yaitu bahasa Romawi yang artinya ‘bagus’. Perkataan Ali ini menunjukkan persetujuannya terhadap keputusan Qadhi Syuraih. Inilah qaul shahabi yang masyhur dan tidak ada yang menentangnya.
Adanya tiga haid dalam satu bulan menjadi bukti bahwa tigabelas hari dapat diyakini sebagai masa suci yang sebenarnya. Dan menurut kesepakatan seluruh ahli fiqih tidak adanya batasan berapa lama ia berada dalam kondisi suci dari haid. [5]
Wallahu a’lam bishowaab!
  
[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Fiqhi Islami Jld.1, (Damaskus: Darul Fikr, 2005M) hal.118-119
[2] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, (Beirut: Darul Fikr, 2003   M) hal.159-160
[3] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jld.1, Cet.Ke-10, (Damaskus: Darul Fikr,2007M) hal.509
[4]  Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Fiqhi, Ibid

[5] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Ibid, hal.513-514
Share:

0 komentar:

Posting Komentar