Islam merupakan satu-satunya agama yang memberikan
perhatian utama terhadap kesehatan manusia. Setiap muslim wajib secara agama
menjaga kesehatannya dan menyeimbangkannya dengan kebutuhan rohani. Dan
diantara penjagaan kesehatan dalam Islam dengan adanya syari’at lima sunnah
fithrah, salah satunya adalah khitan. Berdasarkan hadits:
الفِطْرَةُ
خَمْسٌ الخِتَانُ والإِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ
وَتَنْفُ الإِبْطِ
“Fitrah ada lima: khitan,
mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Baidhawi
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah sunnah yang sudah dilakukan
oleh para nabi dari sejak dahulu dan diperintahkan oleh syari’at kepada semua
nabi, seolah-olah hal tersebut merupakan perkara yang sudah menjadi bagian yang
alami pada manusia.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam juga
bersabda:
إذَا التَقَى الخِتَانَانِ وَتَوَارَتْ الحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ
الغُسْلُ
“Apabila bertemu dua khitan, maka
wajib wudhu.”
Secara
etimologi khitan berasal dari kata Bahasa Arab yaitu الختان ism dari الختن yang artinya memotong. Dalam lisan al-Arab disebutkan
bahwa istilah al-Khatnu untuk laki-laki dan al-Khafdhu untuk perempuan. Adapun secara
terminologi, dalam istilah al-Khafdhu bermakna memotong kulit klitoris paling
atas pada kemaluan wanita. Klitoris adalah kulit pada kemaluan wanita yang
bentuknya menyerupai jengger ayam.
Adapun
pengertian khitan secara istilah fikih adalah memotong kulit kulup klitoris
yang berada diatas kemaluan, bukan memotong bagian klitoris, labia minora dan
labia mayora. Memotongnya bukan sewenang-wenang sampai menghilangkan seluruhnya.
Khitan wanita menurut Ulama
Para
ulama sepakat bahwa khitan perempuan secara umum ada di dalam syariat Islam.
Namun, mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya, apakah wajib, sunnah,
atau suatu perbuatan yang mulia.
Madzhab
Syafi’i dan Hanabilah berpendapat bahwa hukum khitan bagi wanita adalah wajib.
Mereka bersandar pada hadits Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi wa sallam
“Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR.Tirmidzi) Imam Mawardi juga
berkata:
الخِتَانُ فَرْضٌ
وَاجِبٌ فِي الرِجَالِ وَالنِّسَاءِ
“ Khitan itu wajib bagi laki-laki dan bagi perempuan.”
Imam
Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ berkata, “Dalam madzhab kami (madzhab Syafi’i)
khitan hukumnya wajib bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut al-Khathabi,
pendapat ini juga merupakan pendapat kebanyakan ulama salaf (ulama terdahulu).
Adapun sebagian
ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan juga riwayat Ahmad. Bahwasannya
khitan bagi perempuan adalah sunnah. Namun dalam hal ini mereka berbeda
pendapat dalam memaknai makna sunnah itu sendiri.
- Ulama Hanafiyah memaknai makna sunnah laki-laki derajatnya daripada perempuan. Yakni sunnah laki-laki lebih mendekati wajib namun tak sampai fardlu.
- Ulama Malikiyah tidak membedakan makna Sunnah antara laki-laki dan perempuan, yaitu Sunnah laki-laki adalah kewajiban, tidak boleh meninggalkan tanpa ada udzur, begitupula halnya perempuan.
Sedangkan
madzhab jumhur Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat hukum khitan perempuan adalah suatu perbuatan yang mulia bukan
sunnah, sebagaimana kedudukan khitan laki-laki. Kata sunnah merupakan pemakaian
yang khusus bagi khitan laki-laki, yakni lebih dekat dengan wajib.
Menurut
pendapat Hanafiyah bahwasannya mukarramah bermakana mustahab, yakni khitan
sunnah bagi laki-laki dan bagiperempuan dianjurkan. Sebagaimana perkataan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam:
الخِتَانُ
سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
“Khitan
bagi laki-laki merupakan sunnah dan bagi perempuan merupakan perbuatan yang
mulia.”
Makna perbuatan yang mulia disini adalah khitan seorang
perempuan itu ketika dapat menyenangkan suami.
Menurut
jumhur fuqaha’ Hanafi dan Maliki mukarramah, mustahab, mandhub (sunnah) semua
maknanya satu. Dan pendefinisian sunnah dalam khitan laki-laki berbeda.
Sesungguhnya khitan perempuan itu kedudukannya lebih tinggi dari mubah dan
mendekati sunnah, dalam istilah fikih mutaakhirin.
Syarat Wajib Khitan
Diantara
syarat wajib khitan untuk perempuan dalam mazhab Syafi’i adalah: baligh,
berakal, memungkinkan untuk di khitan. Sedangkan dalam madzhab Hanabilah
perempuan wajib di khitan dengan syarat: baligh, dan aman dari bahaya.
Adapun
keadaan organ genetalia (alat kelamin) perempuan antara satu dengan yang
lainnya berbeda-beda. Bagi yang mempunyai kulit kulup penutup klitoris yang
besar dan mengganggu aktifitas sehari-hari dan membuatnya tidak tenang karena
seringnya terkena rangsangan dan dikhawatirkan akan menjerumuskan kepada
perzinahaan maka wajib baginya khitan.
Sedangkan
perempuan yang memiliki klitoris berukuran kecil dan tertutup dengan selaput
kulit, maka khitan baginya sunnah karena akan menjadikannya lebih baik dan
lebih dicintai oleh suami.
Kapan pelaksanaan khitan perempuan?
Terdapat
beberapa hadits yang dengan gabungan sanadnya mencapai derajat hasan bahwa
hadits tersebut menunjukkan waktu pelaksanaan khitan pada hari ketujuh setelah
kelahiran. Diantaranya:
Dari
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhu berkata, “Terdapat tujuh perkara yang
termasuk sunnah dilakukan bayi pada hari ketujuh: Diberi nama, dikhitan,…” (HR.
Thabrani)
Dari Abu
Ja’far berkata, “Fathimah melaksanakan aqiqah anaknya pada hari ketujuh. Beliau
juga mengkhitan dan mencukur rambutnya serta menshadaqahkan seberat rambutnya
dengan perak.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Namun,
meskipun begitu, khitan boleh dilakukan sampai anak agak besar, sebagaiman
telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhu, bahwa beliau
pernah ditanya, “Seperti apakah engkau saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam meninggal dunia ?” Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan
dikhitan. Dan saat itu para sahabat tidak mengkhitan kecuali sampai anak itu
bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhori, Ahmad, dan Thabrani).
Berkata
Imam Al-Mawardzi, ” Khitan itu memiliki dua waktu, waktu wajib dan waktu
sunnah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu sunnah adalah
sebelumnya. Yang paling bagus adalah hari ketujuh setelah kelahiran dan
disunnahkan agar tidak menunda sampai waktu sunnah kecuali ada udzur. (Fathul
Bari 10/342).
Prof.
Dr. Musdah mulia berpendapat, bahwa tidak adanya ketentuan waktu pelaksanaan
khitan bagi perempuan. Karena setiap masyarakat memiliki kebiasaan yang berbeda
dari satu tempat ke tempat lain. Dalam praktiknya, khitan dilaksanakan
berdasarkan kebiasaan atau adat kebudayaan masyarakat setempat. Umumnya, sunat
perempuan dilakukan pada saat anak perempuan masih dalam usia bayi, yaitu
ketika berusia antara 7 sampai 10 tahun. Akan tetapi, di beberapa negara,
seperti pada masyarakat Somalia sunat perempuan seringkali dilakukan pada usia
17 sampai 60 tahun. Sedangkan di Etiopia usia sunat perempuan biasanya
dilakukan pada kisaran usia yang lebih tua antara 30 dan 52 tahun. Umumnya,
yang paling banyak dilakukan adalah ketika anak perempuan masih balita, yakni
antara 4 sampai 7 tahun. Sementara di Indonesia, umumnya sunat dilakukan saat
anak perempuan masih bayi, yaitu pada hari ke-7 setelah kelahiran, dan
biasanya dilakukan oleh dukun bayi dan
tenaga medis, seperti bidan dan dokter. Wallahu a’lam bisshowaab!
Referensi
- Sulthan bin Ali bin Tsabit al-Jaro, al-Fawaidu al-Hisan fi Ahkami al-Khitan. Syabakah al-alukah
- Ahmad Ali Muwafi, khitan al-Inats Bainal Masyruiyyah wal Hadhar. Kairo: Dar al-Ulum
- Musthafa al-Adawiy, Jaami’ Ahkam an-Nisa
- Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu, Cet.1, jilid.1
- Imam Muhyiddin an-Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz.1
- Hasyiyah al-Jamil, Fatwahattul wahhab bi Tauqidhihi Syarhu Minhajut Thullab, jilid..5
- Emma Yusuf, Khitan Syar’i Perempuan, cet.Ke-1
- https://www.jurnalperempuan.org/blog/sunat-perempuan-dalam-perspektif-islam
- https://muslimah.or.id/85-khitan-bagi-wanita.html
0 komentar:
Posting Komentar